
Dulu, telinga saya hanya akrab dengan musik pop rock. Lagu-lagu penuh energi terasa cocok dengan masa remaja, di mana semangat lebih banyak daripada kewajiban. Namun, seiring usia yang bertambah, terutama setelah memasuki kepala tiga, saya mulai heran dengan diri sendiri: mengapa musik keroncong justru terdengar lebih nikmat di telinga? Ada perubahan selera yang tidak hanya sekadar soal musik, tetapi juga soal fase hidup.
Penelitian pernah menyebut bahwa orang di usia 30-an ke atas cenderung berhenti mencari lagu-lagu baru. Mereka lebih nyaman mendengarkan musik yang sudah akrab di masa lalu. Namun, keroncong dalam kasus saya adalah pengecualian. Bukan musik yang saya kenal di masa remaja, tapi justru hadir sebagai teman baru di usia sekarang. Barangkali karena keroncong punya karakter yang lambat, teduh, dan konsisten, sehingga cocok untuk jiwa orang-orang usia 30-an yang tengah berjuang memenuhi kebutuhan keluarga. Musik ini tidak menuntut kita melompat, cukup mengiringi langkah agar tetap seimbang.
Keroncong sendiri punya sejarah panjang. Ia lahir dari pertemuan budaya, tumbuh di era generasi boomer, dan melekat dengan nama-nama besar seperti Waljinah. Tak bisa dilupakan pula sosok Gesang, maestro keroncong yang melahirkan lagu legendaris Bengawan Solo. Gesang sering disebut sebagai bukti hidup bahwa keroncong bisa menjadi bahasa universal: sederhana, namun menyentuh lintas generasi. Dalam wawancara-wawancara lamanya, Gesang pernah mengatakan bahwa keroncong bertahan bukan karena dipaksakan, melainkan karena selalu membawa “rasa” yang bisa diterima siapa saja.
Namun yang menarik, keroncong tidak berhenti di situ. Di era digital, justru banyak anak muda di YouTube yang membawakan lagu-lagu dengan aransemen keroncong. Ternyata musik ini tidak mati, bahkan menemukan ruang barunya. Dari Gesang hingga Waljinah, dari panggung radio hingga platform digital, keroncong membuktikan daya tahannya.
Menariknya, keroncong yang lahir dan populer di era boomer justru lebih lentur daripada sebagian generasi boomers itu sendiri. Keroncong tetap setia pada jati dirinya, tetapi mampu beradaptasi dengan zaman: masuk ke YouTube, berkolaborasi dengan lagu Jawa kekinian, bahkan dipadukan dengan genre modern. Ironisnya, tidak semua boomers sanggup melakukan hal yang sama. Keroncong memberi pelajaran bahwa menjaga jati diri bukan berarti menolak perubahan, melainkan tahu bagaimana beresonansi dengan zaman.
Bagi bapak-bapak usia 30-an, musik keroncong mungkin terasa seperti cermin kecil. Di tengah rutinitas bekerja, memenuhi kebutuhan keluarga, dan merawat mimpi yang tidak selalu mulus, keroncong hadir sebagai penyeimbang. Ia mengingatkan bahwa hidup tidak selalu tentang kecepatan, tapi juga tentang ketepatan ritme. Sama seperti keroncong yang tidak terburu-buru, kita pun butuh jeda untuk meresapi langkah yang sudah ditempuh.
Baca Juga :
Keroncong juga mengajarkan tentang resonansi. Ada sebuah eksperimen dengan garputala: jika digetarkan, ia hanya bisa membuat garputala lain yang sama frekuensinya ikut bergetar. Keroncong bekerja seperti itu. Ia tidak memaksa semua orang menyukainya, tapi bagi mereka yang frekuensinya sama—mereka yang sedang mencari keteduhan, kestabilan, dan rasa pulang—musik ini bisa langsung menggetarkan hati. Begitu pula dengan hidup: pemahaman, prinsip, bahkan hidayah, hanya bisa meresap jika frekuensi jiwa sudah selaras.
Pada akhirnya, keroncong bukan sekadar musik tua yang dinikmati kalangan tertentu. Ia adalah pelajaran tentang bagaimana kita, generasi milenial yang berdiri di antara boomer dan Gen Z, bisa belajar menjaga identitas sambil tetap terbuka pada perubahan. Keroncong adalah bukti bahwa yang lahir lama pun bisa relevan, asal tahu cara berdialog dengan zaman.
Sebagaimana pesan WS Rendra: “Seni itu lahir dari kehidupan, dan tugasnya adalah menghidupkan kembali kehidupan.”
Dan Gesang, lewat Bengawan Solo, sudah membuktikan bagaimana satu lagu keroncong bisa hidup puluhan tahun tanpa kehilangan makna.
Mungkin inilah mengapa keroncong bertahan. Karena ia tidak hanya musik, tetapi juga cara hidup yang terus menemukan relevansinya.