You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Desa Adiarsa
Desa Adiarsa

Kec. Kertanegara, Kab. Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah

ADIARSA MAJU

Apakah Kita Masih Dijajah

BAYU ROHANI 07 Oktober 2025 Dibaca 10 Kali
Apakah Kita Masih Dijajah

Bung Karno pernah berkata:

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri.”

Kalimat itu seperti ramalan yang kini terasa makin nyata di tahun 2025. Penjajahan memang sudah tidak lagi datang dengan senjata, tetapi dengan sistem, kebijakan, dan kebiasaan yang pelan-pelan menggerogoti rakyat kecil. Ia tidak datang dari luar, melainkan dari dalam negeri sendiri dari cara kita diatur, dibentuk, dan dibiasakan untuk menerima tanpa bertanya.

Kita sering merasa sudah merdeka. Tapi coba renungkan:
Harga kebutuhan pokok terus naik, nilai uang terus menurun. Setiap tahun kita menghadapi inflasi, tapi tidak pernah benar-benar memahami siapa yang diuntungkan dari situ. Uang kita hilang sedikit demi sedikit, bukan karena dicuri secara paksa, tapi karena daya belinya terkikis tanpa terasa.

Kita membeli bensin, tapi yang dijual adalah bensin oplosan padahal membeli ditempat resmi. Kita membayar parkir di pinggir jalan umum, padahal jalan itu milik rakyat. Kita membeli susu, tapi yang sampai di meja hanya krim yang dikemas dengan janji kesehatan. Kita membayar pajak, namun jarang melihat manfaatnya kembali ke desa.
Begitulah cara kita dicuri bukan dengan kekerasan, tapi dengan kelengahan dan ketidaktahuan.

Tan Malaka pernah menulis dalam Menuju Republik Indonesia (1925):

“Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme, dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim.”

Lebih dari seabad lalu, ia sudah memperingatkan bahwa bentuk penjajahan terbesar justru adalah feodalisme dalam pikiran, rasa tunduk yang membuat kita sulit kritis. Kini, bentuk itu hadir dalam rupa yang lebih canggih: ekonomi pasar, birokrasi rumit, dan kebijakan yang sering dibungkus dengan kata pembangunan.

Masalahnya, banyak dari kita tidak sadar sedang dijajah, karena kita sendiri sudah terbiasa tidak berpikir panjang.
Dalam musyawarah, kita hanya mengangguk. Dalam antrean, kita hanya mengikuti. Dalam kebijakan, kita hanya menerima. Padahal kemerdekaan sejati bukan tentang siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berani berpikir dan bersuara dengan jernih.

Rakyat yang berhenti berpikir akan mudah diarahkan.
Kita bisa dipungut biaya yang tidak jelas asal-usulnya, bisa dituntut patuh atas aturan yang tidak pernah kita pahami, dan bisa dipaksa membayar sesuatu yang seharusnya menjadi hak. Semua terjadi bukan karena kita bodoh, tapi karena kita malas berpikir, malas menelusuri, malas bertanya, malas memeriksa.

Bung Karno benar. Perjuangan setelah kemerdekaan bukan lagi melawan bangsa asing, tapi melawan diri sendiri: rasa malas berpikir, rasa takut berbeda pendapat, dan rasa sungkan yang membuat kita diam ketika kebenaran disimpangkan.

Tan Malaka juga benar. Rakyat yang tidak berpikir mudah “dibikin merangkak-rangkak.”
Dan kita tentu tidak ingin menjadi bangsa yang merangkak di atas tanah sendiri.

Akhir Kata

Merdeka hari ini bukan sekadar soal bendera yang berkibar atau upacara setiap Agustus.
Merdeka berarti sadar ketika kita dicurangi, berani bertanya ketika sesuatu tidak masuk akal, dan tidak mudah percaya pada kemasan yang tampak indah tapi kosong di dalamnya.
Kita bisa tetap sopan, tetap tenang, tapi jangan berhenti berpikir. Karena penjajahan paling berbahaya adalah ketika rakyat tidak sadar sedang dijajah dan menganggap semuanya baik-baik saja.

Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image