
Selamat pagi, siang, sore, dan malam warga sipil sekalian.
Tahun 2014 hadir Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa, kemudian disusul Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Dana Desa, dan pada tahun 2015 Dana Desa pertama kali digulirkan. Kehadirannya membawa perubahan yang signifikan dalam pembangunan desa.
Dalam film Spiderman ada ungkapan, “With great power comes great responsibility” — atau dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan: “Dengan datangnya kekuatan besar, datang pula tanggung jawab besar.” Ungkapan ini sangat relevan dengan situasi desa hari ini. Kewenangan yang lebih besar dan aliran dana yang langsung ke desa menuntut pemerintah desa untuk bertindak bijak: mengelola anggaran secara transparan, memprioritaskan program yang memberi manfaat nyata, melibatkan partisipasi warga dalam perencanaan, serta mempertanggungjawabkan penggunaannya secara akuntabel.
Artikel ini secara khusus membahas tentang Dana Desa. Perlu dipahami, pemerintah pusat tidak serta-merta menggulirkan Dana Desa ke pemerintah desa tanpa arah. Bersamaan dengan aliran dana, pemerintah juga memberikan berbagai regulasi sebagai panduan penggunaan, termasuk prioritas program yang boleh dan tidak boleh dibiayai.
Selain itu, pemerintah menugaskan tenaga khusus yang disebut pendamping desa. Kehadiran mereka menjadi penting, karena tidak semua perangkat desa langsung memahami teknis perencanaan, pengelolaan, hingga pelaporan anggaran sesuai aturan. Pendamping desa berfungsi sebagai fasilitator, motivator, sekaligus pengawas yang membantu pemerintah desa agar pelaksanaan Dana Desa tepat sasaran dan sesuai regulasi. Dengan demikian, pendamping desa bukan sekadar pelengkap, tetapi bagian penting dari ikhtiar agar Dana Desa benar-benar menjadi motor pembangunan yang berpihak pada masyarakat.
Dalam struktur APBDes Desa Adiarsa, Dana Desa menempati porsi dominan, sekitar 50 persen dari total pendapatan desa. Angka ini memberi ruang gerak yang luas, tetapi sekaligus menimbulkan persepsi keliru: seolah-olah semua kebutuhan desa bisa serta-merta dibiayai dari Dana Desa. Padahal, sebesar apa pun nominalnya, Dana Desa tetap memiliki batasan, aturan, dan prioritas penggunaan yang wajib dipatuhi.
Karena itu, penting untuk memahami bahwa Dana Desa bukanlah satu-satunya sumber pembiayaan desa. Masih ada Pendapatan Asli Desa (PAD), Alokasi Dana Desa (ADD), maupun sumber lain yang menjadi bagian dari APBDes. Keseimbangan inilah yang harus dikelola secara cermat agar pembangunan berjalan efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Penggunaan Dana Desa diatur ketat oleh pemerintah pusat. Setiap desa tidak bisa serta-merta mengalokasikan anggaran sesuai keinginan, karena ada panduan yang wajib dipatuhi. Salah satu yang utama adalah bahwa Dana Desa harus menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat. Itulah mengapa program kesehatan, ketahanan pangan, hingga Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) menjadi anggaran wajib yang tidak boleh diabaikan.
Dengan komposisi ini, porsi Dana Desa yang benar-benar bisa diarahkan untuk pembangunan fisik murni hanya sekitar 30 persen. Artinya, ruang bagi desa untuk membangun jalan, jembatan, atau sarana fisik lainnya relatif terbatas, dan harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan paling mendesak warga.
Hal ini juga terlihat nyata dalam APBDes Desa Adiarsa tahun berjalan. Dari total Dana Desa yang diterima, sebagian besar memang terserap pada program-program yang langsung menyentuh manusia, antara lain:
- Bidang kesehatan dan sosial: penyelenggaraan posyandu lebih dari Rp80 juta, penanggulangan stunting Rp32,7 juta, penyuluhan dan pelatihan kesehatan Rp8,3 juta, serta BLT Dana Desa Rp93,6 juta.
- Bidang ketahanan pangan: dialokasikan hingga Rp217 juta untuk menjaga ketersediaan pangan melalui berbagai program budidaya dan dukungan sarana produksi.
- Pemberdayaan masyarakat: pelatihan, peningkatan kapasitas perangkat desa, hingga kegiatan perlindungan anak dan perempuan.
Sementara itu, pembangunan fisik murni seperti rehabilitasi ruang pelayanan, pembangunan talud jalan, perbaikan lapangan olahraga, maupun pengadaan sarana desa porsinya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan total keseluruhan. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa anggaran fisik hanya sekitar 30 persen dari Dana Desa. Kondisi ini menunjukkan bahwa Dana Desa bukan semata-mata untuk membangun infrastruktur, tetapi lebih diarahkan untuk pembangunan manusia dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kini sudah sepuluh tahun sejak Dana Desa pertama kali digulirkan. Tentu banyak sisi positif maupun negatif yang bisa kita lihat bersama. Di satu sisi, desa memiliki peluang besar untuk membangun infrastruktur, meningkatkan layanan kesehatan, dan memberdayakan masyarakat. Namun di sisi lain, muncul juga tantangan berupa pengelolaan yang belum tepat sasaran, keterbatasan SDM, hingga penyalahgunaan anggaran.
Ibarat Spiderman yang baru pertama kali mendapatkan kekuatan, pada awalnya ia tidak langsung bisa menggunakannya dengan bijak. Ia jatuh bangun, berlatih, bahkan membuat kesalahan sebelum akhirnya benar-benar paham arti dari ungkapan “With great power comes great responsibility.” Demikian pula dengan desa—sepuluh tahun perjalanan Dana Desa adalah proses belajar, bagaimana kekuatan anggaran yang besar ini harus diarahkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Satu dekade berjalan, bukan lagi waktunya sekadar belajar atau menyesuaikan diri. Desa harus lebih matang, lebih berani, dan lebih terarah. Roma tidak dibangun dalam satu hari, begitu pula pembangunan desa: ia membutuhkan proses panjang, konsistensi, dan kesabaran. Tidak semua hasil bisa langsung kita nikmati, tetapi pondasi yang kuat akan menentukan arah ke depan.
Namun sebagai orang Jawa, kita juga akrab dengan kisah Bandung Bondowoso yang membangun sebuah mahakarya yang kita kenal sebagai candi prambanan hanya dalam satu malam. Meskipun hanya legenda tapi cerita ini mengajarkan bahwa dengan visi yang jelas, orientasi jangka panjang, kekuatan yang terarah, serta keberanian mengambil keputusan yang jujur demi masyarakat, pembangunan bisa dikebut dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa dalam waktu singkat. Inilah semangat yang perlu dipegang: desa yang maju lahir dari visi yang matang, kerja yang konsisten, dan keberanian untuk terus mengoptimalkan potensi bagi kesejahteraan warga.
Menurut nakama apakah kita akan membangun candi dengan dana desa.