Dalam sejarah Indonesia, pernah hidup seorang pemimpin yang tidak hanya kuat dalam kuasa, tetapi juga jauh dalam pikiran. Gajah Mada, mahapatih Majapahit, dikenal bukan karena gemar berbicara, melainkan karena kemampuannya melihat Nusantara sebagai satu kesatuan yang beragam. Ia menyatukan wilayah yang berbeda-beda tanpa memaksanya menjadi seragam, membangun kekuasaan tanpa mencabut akar budaya yang telah tumbuh lebih dulu. Sebuah bentuk kepemimpinan yang lahir dari visi, bukan dari kepentingan sesaat.
Majapahit tidak berdiri di atas keseragaman. Justru dari keberagaman itulah lahir semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Setiap wilayah tetap menjadi dirinya sendiri, namun terhubung dalam tujuan bersama. Ini berbeda dengan cara berpikir monokultur, yang menganggap satu bentuk sebagai yang paling benar dan menyingkirkan yang lain demi efisiensi.
Jika kita geser pandangan ke alam, perbedaan itu tampak jelas. Dari atas, perkebunan sawit terlihat rapi, berjajar, dan seragam. Tetapi kerapian itu menyisakan tanah yang terbuka, rapuh, dan miskin kehidupan. Berbeda dengan hutan: ia tampak semrawut, tidak beraturan, namun justru menutup tanah rapat-rapat, menyimpan air, dan menopang kehidupan dari permukaan hingga jauh ke dalam bumi.
(Fungsi ekologis ini telah dibahas lebih rinci pada artikel sebelumnya tentang hutan dan sawit.)
Klik disini untuk baca : Pohon dan sawit
Di dalam hutan itulah gajah Sumatera hidup. Ia bukan sekadar satwa besar, melainkan penjaga ekosistem. Gajah membantu menyebarkan biji, membuka jalur air, dan menjaga keseimbangan hutan. Ia hidup mengikuti hukum alam, bukan kepentingan pasar. Dan karena itulah gajah sering dianggap “mengganggu” oleh mereka yang melihat hutan hanya sebagai komoditas.
Menariknya, cara membungkam gajah hampir selalu sama: dibunuh.
Bukan karena gajah menyerang terlebih dahulu, melainkan karena ia tidak mau menyingkir. Ia tidak bisa diajak kompromi untuk berpura-pura bahwa monokultur sawit adalah hutan. Gajah hanya berjalan, hidup, dan berpikir sesuai naluri alaminya. Ketika keberadaannya menghalangi kepentingan ekonomi, maka solusi tercepat adalah meniadakannya.
Di titik ini, gajah Sumatera menjadi simbol yang lebih besar: tentang kebenaran yang tidak bisa dibujuk. Berbeda dengan manusia, yang sering kali bisa mengubah pendirian karena iming-iming keuntungan pribadi, gajah tidak mengenal tawar-menawar semacam itu. Ia tidak berpindah keyakinan karena janji, tidak mengalah karena tekanan. Dan justru karena keteguhan itulah ia dianggap berbahaya.
Kita bisa melihat benang merahnya. Gajah Mada menyatukan Nusantara tanpa menyeragamkan. Gajah Sumatera menjaga hutan tanpa berkompromi dengan yang tidak alami. Keduanya sama-sama berdiri pada prinsip: bahwa keberagaman dan keseimbangan adalah kekuatan, bukan hambatan.
Sementara itu, di zaman sekarang, kita kerap hidup dalam sistem yang justru mendorong keseragaman: satu jenis tanaman, satu jenis cara pandang, satu ukuran keberhasilan—biasanya diukur dari angka dan keuntungan jangka pendek. Ketika alam rusak, banjir datang, atau konflik muncul, kita sering baru bertanya: apa yang salah? Padahal jawabannya mungkin sudah lama ada, namun tidak kita dengarkan.
Artikel ini tidak bermaksud menyalahkan siapa pun. Ia hanya mengajak kita menengok kembali cara berpikir lama yang ternyata masih relevan. Bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang memaksa semua menjadi sama. Bahwa pembangunan tidak selalu berarti mengganti yang beragam dengan yang seragam. Dan bahwa kebenaran, baik pada manusia maupun alam, sering kali justru dibungkam karena ia tidak bisa dibeli.
Mungkin, di tengah dunia yang semakin bising oleh kepentingan, kita memang perlu kembali belajar dari sosok-sosok yang teguh. Dari Gajah Mada yang visioner, dan dari gajah-gajah penjaga hutan yang diam-diam menjaga keseimbangan hidup kita semua