Jika kita melihat bumi dari ketinggian, perbedaan antara hutan dan perkebunan sawit akan tampak sangat jelas. Perkebunan sawit berdiri rapi, berjajar lurus membentuk garis-garis yang teratur. Sementara itu, hutan terlihat acak, tidak simetris, tetapi menutup tanah dengan rapat. Dari atas, hutan tampak “berantakan”, namun justru di situlah bersembunyi sebuah kekuatan sistem alam bekerja yang tak nampak oleh mata manusia.
Hutan tidak hanya sekadar kumpulan pohon. Ia adalah sistem kehidupan. Akar berbagai jenis pohon saling mengikat tanah, menyimpan air hujan, dan menahannya agar tidak langsung mengalir deras ke sungai. Daunnya menahan panas, ranting dan semaknya meredam jatuhnya air hujan, sementara tanah di bawahnya tetap gembur dan hidup. Karena itulah, ketika hujan besar datang, hutan jarang menimbulkan banjir.
Sebaliknya, sawit adalah tanaman monokultur. Akar sawit tidak bekerja seperti akar pohon hutan yang menyebar luas dan saling menguatkan. Tanah di bawahnya relatif terbuka, mudah mengeras, dan cepat mengalirkan air. Maka tidak mengherankan jika para ahli lingkungan mengatakan bahwa sawit tidak bisa disamakan dengan hutan, meskipun secara fisik ia memiliki batang, daun, dan akar.
Perdebatan apakah sawit disebut pohon atau bukan, sesungguhnya bukan soal istilah. Yang lebih penting adalah soal fungsi. Dalam ekologi, yang dinilai bukan sekadar bentuk, tetapi peran. Sesuatu bisa tampak berdiri, namun tidak benar-benar menjalankan fungsi kehidupan yang seharusnya.
Pelajaran ini tidak hanya berhenti pada alam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menilai sesuatu dari keterlihatannya. Yang rapi dianggap bekerja. Yang tertata dianggap berfungsi. Padahal, seperti hutan, banyak hal yang bekerja justru dalam diam, tidak mencolok, dan tidak selalu bisa dilihat dari permukaan.
Fungsi yang sesungguhnya sering kali baru terasa ketika ia hilang. Kita baru menyadari pentingnya pohon ketika banjir datang. Kita baru memahami arti penyangga kehidupan ketika tanah tidak lagi mampu menahan air. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat: peran, kehadiran, dan fungsi tidak selalu bisa diukur dari tampilan luar, tetapi dari dampaknya bagi banyak orang.
Di sisi lain, sawit juga mengajarkan hal lain: ekonomi yang berjalan tanpa keseimbangan akan menimbulkan biaya yang tersembunyi. Sawit memberi hasil ekonomi yang cepat, tetapi jika tidak disertai perlindungan lingkungan, biaya yang harus dibayar adalah banjir, tanah rusak, konflik satwa, dan hilangnya ruang hidup. Keuntungan jangka pendek sering kali dibayar mahal oleh generasi berikutnya.
Karena itu, solusi tidak selalu berarti meniadakan ekonomi, tetapi menata ulang keseimbangan. Alam mengenal banyak contoh pohon yang berfungsi ganda: kelapa, misalnya, yang akarnya kuat menahan abrasi, batangnya berguna, daunnya bernilai, dan buahnya menopang ekonomi masyarakat pesisir. Begitu pula pohon-pohon seperti beringin atau tanaman keras lain yang secara ekologis menjaga tanah, air, dan kehidupan di sekitarnya.
Pelajaran dari pohon adalah pelajaran tentang fungsi, keseimbangan, dan keberlanjutan. Sesuatu tidak cukup hanya “ada”, tetapi harus benar-benar bekerja. Tidak cukup hanya terlihat rapi, tetapi harus mampu melindungi, menopang, dan memberi kehidupan.
Mungkin inilah yang perlu terus kita renungkan bersama. Dalam menjaga alam, dalam membangun masyarakat, dan dalam menjalankan peran masing-masing: apakah kita sekadar berdiri tegak seperti barisan sawit, atau benar-benar berfungsi seperti hutan yang diam-diam menjaga kehidupan?
Karena pada akhirnya, yang paling dibutuhkan bukanlah yang paling terlihat, melainkan yang paling berdampak.